Membahas resiliensi, terlalu seru jika dihabiskan sekali waktu sehingga tulisan ini kami penggal menjadi dua bagian. Pada bagian ini kita akan mengenal model 7 Cs of resilience dan pada bagian kedua pembahasan akan lebih mengarah pada alat ukurnya.
Stresor atau penyebab stres dapat beragam bentuknya dan merupakan hal normal yang ditemui setiap hari. Respon individu ketika menemui stressor bervariasi, ada yang berusaha menghadapi dan menyelesaikannya, ada pula yang berlari dari stresor tersebut dan berusaha mengabaikannya. Banyak hal yang mempengaruhi respon tersebut, termasuk pengalaman masa kecil. Pengalaman buruk masa kanak-kanak adalah hal yang berkorelasi dengan peningkatan risiko kebiasaan buruk saat dewasa, termasuk mengkonsumsi rokok, alkohol, obat terlarang, hubungan seks risiko tinggi, serta mood depresi.
Resiliensi menurut KBBI memiliki makna kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit; atau kata lainnya adalah tangguh.
Resiliensi dan kerentanan merupakan dua spektrum yang memodulasi dampak stresor pada remaja, termasuk risiko untuk melakukan perbuatan negatif sebagai dampak pengalaman masa kecil. Resiliensi akan memperkuat individu untuk menyelesaikan stressor secara positif sehingga kemampuan tersebut dapat menggambarkan ketahanan seseorang.
Ken Ginsburg, seorang Dokter Spesialis Anak pada tahun 2014 memunculkan model The seven C’s of Resilience, yang merupakan tujuh cara yang dapat membentuk resiliensi anak.
Model ini kemudian diadopsi berbagai kalangan, termasuk individu remaja, dewasa, bahkan hingga tingkat organisasi atau perusahaan. Seven C’s of resilience terdiri dari tujuh kata dalam Bahasa inggris yang dimulai dengan huruf ‘C’ yaitu:
Confidence (kepercayaan diri), dibangun dan dipengaruhi oleh lingkungan terdekat, yang tumbuh dari adanya kompetensi. Kepercayaan diri penting untuk membentuk perilaku positif dan menghindari perilaku negatif. Tanpa kepercayaan diri, seseorang sulit untuk membuat pilihan positif dan cenderung mengikuti pendapat mayoritas untuk menghindari penolakan/konflik.
Competence (kompetensi), merupakan keahlian atau keterampilan yang dapat terus berkembang. Keahlian atau keterampilan ini menjadikan seseorang dikenali orang lain. Terkadang, orang tua meredupkan perkembangan kompetensi ini Ketika terlalu banyak memuji, melindungi atau membuat kenyamanan berlebih untuk anak, sehingga mengurangi kesempatan untuk mengasah kemampuan memecahkan masalah atau berlatih untuk meningkatkan kompetensi.
Connection (Hubungan), hubungan baik perlu dimiliki seorang anak, setidaknya dengan satu orang dewasa yang mempercayai mereka tanpa syarat dan membantu meningkatkan kemampuan mereka. Koneksi yang baik akan meningkatkan kepercayaan diri seseorang, bahkan pada saat dibawah tekanan.
Character (karakter), memiliki karakter baik dapat berupa kemampuan membedakan hal yang baik dan buruk, memahami norma, memahami bagaimana perilaku seseorang dapat mempengaruhi orang lain, memiliki kegigihan, serta kemampuan untuk refleksi dan belajar dari tantangan hidup. Hal-hal tersebut dapat membantu mengendalikan impuls serta membantu memikirkan masa depan dan dunia yang lebih baik
Contribution (kontribusi), keempat C di atas merupakan hal esensial untuk membangun kepribadian seseorang untuk berkontribusi pada keluarga, komunitas dan lingkungannya. Jika seseorang merasa nyaman saat dapat berkontribusi untuk orang lain, maka ia juga akan merasa mudah meminta dan menerima pertolongan orang lain saat membutuhkannya.
Coping (koping), koping yang efektif merupakan strategi positif dan adaptif untuk membantu seseorang menghadapi stressor. Kemampuan untuk membangun strategi koping positif esensial untuk menghindari dampak jangka panjang stress yang toksik dan menghindari perilaku buruk. Strategi koping orang dewasa dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi penuh tekanan menjadi teladan untuk anak dan remaja. Contoh strategi koping
Control (pengendalian), merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan apa yang terjadi pada diri sendiri, termasuk tidak selalu bersikap pasif. Hal ini termasuk menghindari perilaku buruk saat ada tantangan. Hal ini dapat dibangun oleh orang tua yang disiplin dalam melatih kemandirian dan tanggung jawab, untuk mencapai tujuan bersama dengan komunikasi yang baik. Seorang anak atau remaja yang mampu menunjukkan tanggung jawabnya perlu diberi kepercayaan dan privilese. Kemampuan orang tua untuk mengendalikan perilakunya, bersabar terhadap sesuatu yang tidak disukai, merupakan model yang penting untuk anak.
Nah, rasanya sangat wajar jika orang tua berharap anaknya tumbuh menjadi sosok yang tangguh, mengingat tak selamanya orang tua akan ada dan menjadi penuntun.
Model 7 C’s of resilience memberi petunjuk tentang apa ciri resiliensi seseorang dan bagaimana resiliensi dapat dibentuk.
Pada bagian selanjutnya kita akan membahas bagaimana cara mengukur 7 C seseorang yang dimiliki seseorang, terutama pada remaja. Satu hal yang penting diingat bahwa orang tua merupakan model atau teladan utama untuk membentuk anak yang memiliki resiliensi. Jadi tidak salah bahwa kebaikan itu dapat ditularkan, dan perlu dimulai dari diri kita sendiri.
Yuk, bertanya pada diri masing-masing, sudahkah kita memiliki kemampuan resiliensi?
Referensi:
Ginsburg, Ken. 2018. The Seven C's of Resilience. Parent and Teen. Dapat diakses pada link https://www.youtube.com/watch?v=DTmi4kHor_s&t=59s
Barger, J; Vitale P; Gaughan JP, et al. 2017. Measuring Resilience in the Adolescent Population: A Succinct Tool for Outpatient Adolescent Health. The Journal of Pediatrics. Vol 189: 201-206.
Comments