Setelah memahami tulisan bagian 1 tentang 7 Cs of Resilience, artikel kali ini akan membahas tentang penelitian Barger yang pada tahun 2017 melaporkan tentang validasi alat pengukur resiliensi bernama ‘7Cs tool’.
Bagers dan kawan-kawan menguji tingkat resiliensi remaja berusia 13 – 21 tahun di dua Rumah Sakit akademik di New Jersey, Amerika Serikat, satu berlokasi di Kota dan yang lainnya berlokasi dekat daerah suburban.
Sebanyak 100 responden penelitian mengisi empat formulir yaitu:
Latar belakang dan demografi,
Perilaku berisiko bagi remaja (Health Survey for Adolescents/HSA),
Kejadian tak diinginkan di masa kecil (adverse childhood events), dan
Kuisioner ‘7Cs of Resilience Tool’.
Kuisioner 7Cs of Resilience Tool (selanjutnya disebut kuisioner 7Cs) disusun untuk mengukur komponen 7C dari resiliensi. Responden diminta memilih satu dari 3 kalimat yang paling menggambarkan dirinya. Sebagai contoh, pada komponen ‘confidence (kepercayaan diri)’ diberikan kalimat:
(I) Saya yakin saya akan sukses dalam hal apapun yang saya pilih;
(II) Saya mungkin bisa berhasil, namun saya tau apa kelemahan dan kekurangan saya ; dan
(III) saya ragu apakah saya akan sukses, bahkan pada hal yang saya kuasai.
Setiap jawaban akan diberi skor yang akan diakumulasi dan dianalisis bersama jawaban dari kuisioner lainnya. Semakin tinggi skor total dari kuisioner 7Cs menandakan resiliensi yang semakin rendah. Resiliensi tinggi dinyatakan jika skor < 3, sedangkan resiliensi rendah jika skor ≥ 3.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa tingginya kejadian tak diinginkan di masa kecil berkorelasi dengan resiliensi yang rendah dan kecenderungan untuk memiliki perilaku berisiko pada remaja terutama pada usia >18 tahun.
Kejadian tak diinginkan di masa kecil dalam hal ini adalah kekerasan dalam rumah tangga, intimidasi verbal, pengabaian emosi, perceraian orang tua, dan semacamnya. Sedangkan, perilaku berisiko pada remaja yang dimaksud misalnya masalah berat badan, masalah di sekolah, penggunaan alkohol atau obat terlarang. Menariknya, responden yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler dan olah raga memiliki resiliensi yang lebih baik dan memiliki riwayat kejadian tak diinginkan di masa kecil yang lebih rendah.
Selanjutnya, terdapat asosiasi jika skor total kuisioner 7Cs ≥ 3 (resiliensi rendah) dengan peningkatan masalah di sekolah, penggunaan obat terlarang, perilaku kasar, depresi, keinginan bunuh diri, riwayat penyakit psikis di keluarga, serta ancaman yang terjadi di rumah. Lebih lanjut, Skor kuisioner 7Cs ≥ 4 berasosiasi dengan perilaku penurunan penggunaan seatbelt, menjadi penumpang dalam mobil dengan pengemudi mabuk, dan riwayat kekerasan seksual.
Kuisioner ini membantu proses identifikasi area resiliensi yang kuat bagi seseorang, sehingga diskusi selanjutnya dapat berfokus pada kekuatan seseorang, yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan di masa depan. Kuisioner 7Cs dapat menilai resiliensi total, dan juga dapat mengidentifikasi area kekuatan tertentu dari resiliensi seseorang. Selain itu, kuisioner 7Cs dapat mengidentifikasi risiko perilaku seorang remaja, berdasarkan analisis hubungan komponen masing-masing.
Perlu kita ingat bahwa hasil pengukuran dari kuisioner ini baru dilakukan pada 100 remaja di Amerika Serikat yang sebagian besarnya perempuan. Bisa jadi akan ada perbedaan hasil jika penelitian dilakukan di Indonesia. Setidaknya, hasil penelitian ini cukup membantu ya untuk mengukur resiliensi remaja dan melihat kembali apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan resiliensi remaja.
Terus semangat untuk bertumbuh ya Puan-Puan!
Referensi:
Ginsburg, Ken. 2018. The Seven C's of Resilience. Parent and Teen. Dapat diakses pada link
Barger, J; Vitale P; Gaughan JP, et al. 2017. Measuring Resilience in the Adolescent Population: A Succinct Tool for Outpatient Adolescent Health. The Journal of Pediatrics. Vol 189: 201-206.
Σχόλια